Garam Mogok Asin
Aku garam. Bentukku macam-macam. Kebanyakan sudah halus dan siap
tabur. Tapi di kampung-kampung, masih ada juga yang menggunakanku dalam
bentuk kotak-kotak batangan. Mesti ditumbuk sebelum dicampur dalam
masakan agar cepat larut.
Rasaku? Jangan ditanya lagi. Keasinanku sudah terkenal dari masa ke
masa. Ada yang sangat asin, asin dan cukup asin. Maka kau bisa
menaburkanku sesuai dengan kadarnya.
Tanpaku masakan jadi terasa hambar dan tak nikmat. Coba saja kalo tak
percaya. Tapi jangan coba-coba mencicipinya begitu saja dalam jumlah
banyak. Lidahmu akan kelu keasinan.
Sebalnya, manusia tak menghargaiku! Berapa coba harga garam? Dengan
lima ratus rupiah, manusia bisa mendapatkan sekantong garam. Padahal
fungsiku tak sebanding dengan harga belinya. Seenaknya saja mereka
meremehkanku. Mentang-mentang aku ada dalam jumlah banyak.
Aku memutuskan memulai aksi protes ini dengan mengirimkan sms berantai ke kawanan garam di sebuah kampung.
“Prens, sudah saatnya kita menyuarakan hak kita. Keadilan harus
ditegakkan. Jangan mau dihargai semurah ini sementara manusia begitu
rakus memanfaatkan kita. Mari bersama kita melakukan gerakan aksi anti
asin. Setiap kita yang dicampur dalam masakan, jangan keluarkan rasa
asin itu!”
Aku tersenyum puas. Smsku terkirim sempurna ke aneka ragam dan rupa garam di kampung ini. Rasakan pembalasan kami wahai manusia!
“Tadi saya masak sayur pake lima sendok garam, kok enggak asin ya?” seorang ibu curhat pada tetangganya di forum arisan.
“Jangankan lima sendok. Saya pake lima bungkus saja tidak asin,” Ibu lain menyeletuk bingung.
“Suami saya mengira saya enggak pake garam. Sampe ngasih uang belanja
tambahan untuk beli garam,” Ibu muda yang punya anak balita ikut
nyambung.
“Sayur saya juga hambar. Saya sampe beli garam di kampung sebelah.
Tapi setelah masuk kampung kita, asinnya hilang. Padahal saya udah
bela-belain nyicip itu garam di warung kampung sebelah,” Ibu yang gemuk
ikut berkomentar.
Aku mneyeringai penuh kemenangan. Rasakan kau!
Aksi yang kumobilisasi ini akhirnya terdengar juga hingga garam-garam
di kampung lain, hingga sampai pada tambak-tambak pembuatan garam dan
bergaung di lautan. Bangga jadinya. Ada yang mendukung, ada yang acuh,
ada yang mencemooh. Biarin, bukankah perubahan selalu dimulai dengan
penolakan?
Laut akhirnyamengirimsms padanku, menanyakan sebab musabab boikot
kami. Bagaimanapun juga ia berperan melahirkanku menjadi garam.
“Kita gak dihargai sebagaimana mestinya. Makanya kita protes,”
“Emang kamu mau minta dihargai berapa?”
“Yah, jangan lima ratus rupiah lah,”
“Kan kalo beli garam satu truk harganya bukan limaratus rupiah,”
Aku mendengus marah.
“Enakan punya nilai diri daripada harga diri?”
“Maksudnya?” aku bertanya.
“Jangnlah kita peduli berapa kita dihargai orang. Bagaimana kita
dinilai orang. Asalkan kita tetap memberikan manfaat bagi mereka. Itulah
nilai diri,”
“Bagaimana bisa?” aku protes.
“Kita tak butuh penghargaan. Bermanfaat saja sudah membahagiakan hati. Asal kita lapang dan ikhlas melakukannya,”
Aku termenung sesaat. Teman-teman garam lain juga ikut berpikir.
“Jadilah garam yang dicari karena manfaatnya meskipun kau terlihat
sepele dan remeh. Bagaimanapun mereka membutuhkanmu. Bukankah tujuan
kehidupan kita adalah bermanfaat bagi yang lain?”
Aku jadi malu dengan ucapan laut. Ia memang selalu luas dan lapang
hatinya. Ia selalu menerima segala sesuatu yang dikirim sungai tanpa
protes. Mau air, mau sampah, mau limbah, mau mayat. Ia terima dengan
terbuka. Ia kembalikan pada pesisir pantai pada waktunya.
Andai aku bisa selapang laut dengan kedalaman keikhlasannya, tentulah
tak jadi soal bagaimana manusia menghargaiku. Bermanfaat bagi mereka
menjadi nilai pribadiku semestinya.
“Alhamdulillah, garam saya sudah asin lho,”
“Iya, masakan saya kembali nikmat. Suami dan anak-anak tak lagi protes,”
“Garam benar-benar bermanfaat ya,”
Saya tersenyum bahagia mendengarnya. Kami mengakhiri mogok kami usai berdialog dengan laut kemarin sore.
Sekarang, saatnya aku berkorban. Sebuah wajan panas dengan tumisan kangkung memanggilku mesra. I’m coming!
Sumber : http://indra-andarun.blogspot.com/2012/12/lintang-kemukus.html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar: